Sabtu, 22 Desember 2012

paper sumber-sumber hukum islam

  

Latar Belakang
      
Islam merupakan agama yang sempurna. Setiap segala sesuatu yang ada dimuka bumi ini telah diatur dan tercantum didalam Al-Qur’an Al Karim serta Hadist dari Rasulullah Saw. Begitupun masalah hukum hukum islam yang berlaku sejak dulu hingga sekarang. Namun seiring dengan perkembangan zaman, pola kehidupan manusia sudah mulai berubah. Perkembangan teknologi terbaru hingga gaya hidup yang semakin maju telah memunculkan berbagai masalah baru yang terkadang tidak tercantum dalam Al-Qur’an maupun Hadis mengenai dalil nash nya.  Berbagai pendapat , baik perorangan ataupun secara berkelompok dikemukakan mengenai hukum atas masalah-masalah tersebut.  Tetapi hanya pendapat yang dikemukakan berdasarkan pertimbangan  Al-Qur’an dan hadis lah yang dapat diterima. Di dalam islam sendiri terdapat lima sumber  yang dapat dijadikan sebuah hukum, yakni, Al-Qur’an, hadits, Ijtihad, Ijma’, serta Qiyas.


Definisi Al Qur'an
Secara etimologi Al-Qur’an berarti “bacaan” atau yang dibaca, berasal dari kata qara’a yang berarti  “membaca”. Secara terminologi Al-Qur’an berarati kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan bahasa Arab melalui malaikat Jibril, sebagai mu’jizat dan argumentasi dalam mendakwahkan kerasulannya dan sebagi pedoman hidup untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
            Nama-nama lain dari Al-Qur’an :
1.      Al-Furqan, artinya pembeda,
2.      Al-Kitab, artinya tulisan atau yang ditulis,
3.      Adz-Dzikir, artinya peringatan,
4.  Al-Hadi, artinya petunjuk.


           Al-Qur’an diturunkan tidak hanya untuk dibaca dalm arti pelafalan kata atau kalamat-kalimatnya, tapi  yang terpenting adalah pemahaman, penghayatan dan pengamalannya. Kemu’jizatan Al-Qur’an antara lain terletak pada segi bahasa dan kandungannya, yang akan nampak dan terasa kemu’jizatannya apabila mampu memahami dan mengamalkannya secara utuh dan konsisten.
            Al-Qur’an diturunkan dalam jangka waktu 23 tahun, tepatnya 22 tahun 2 bulan 22 hari, 13 tahun di Makkah, dan 10 tahun di Madinah. Ayat-ayat yang diturunkan di Makkah disebut ayat-ayat Makkiyah,dan yang diturunkan di Madinah dinamakan Madaniyah. Ayat Makkiyah pada umumnya pendek-pendek, dan ayat-ayat Madaniyah panjang-panjang. Yang diturunkan di Madinah, ada 11/30 (1.46 ayat) dan ayat Makiyah merupakan 19/30 dari isi Al-Qur’an (4.780 ayat).
Al-qur-an dibukukan pada masa khalifah Abu Baka Ash-shidiq, sehingga dapat terkumpul menjadi asatu mushaf tersendiri. Pembukuan Al-qur’an dibantu oleh beberapa sahabat antara lain: Umar bin Khattab, Zaid bin Tsabit, Ubay bi Kaab, Ali bin Abi thalib, dan Utsman bin Khattab. Selanjutnya pada masa  khalifah ketiga “Utsman bin Affan” terjadi penyalinan kembali dan penggandaan, yang diketuai leh Zaid bin Tsabit untuk membuat empat salinan Al-Qur’an.
           Sebagian besar ahli tafsir berpandangan bahwa pokok=pokok Al-Qur’an terdiri dari:
1.      Prinsip-prinsip keimanan,
2.      Prinsip-prinsip syari’ah,
3.      Janji dan ancaman,
4.      Sejarah atau kisah-kisah masa lalu,
5.      Ilmu pengetahuan.
           Sebagai kitab suci, Al-Qur’an mempunyai kelebihan dibanding tulisan, buku, bahkan kitab suci lainnya, antara lain:
1.      Baik dari segi isi maupun bahasa,
2.      Al_qur’an berbicara tentang peristiwa yang belum terjadi atau terbukti waktu turunnya ayat bersangkutan dan kemudian menjadi kenyataan.
3.      A;-Qur’an banyak berbicara tntang alam dan fenomenanya.
4.      Bahasa yang digunakan yaitu bahasa Arab,
5.      Al-Qr’an ditujukan bagi seluruh umat manusia bahkan di luar manusia,
6.      Naskah asli Al-Qur’an sejak pertama sampai sekarang tetap terpelihara, tidak mengalami perubahan walaupun sehuruf.
7.      Kandungan Al-Quran mencakup pokok=pokok ajaran pada kitab sebelumnya.
      8.    Di dalam Al-Qur’an tidak dijumpai sesuatu yang bertentangan dengan akal.


Antara Al-Quran dan penafsiran bisa dikatakan tidak ada jarak. Artinya, begitu Al-Quran diturunkan langsung mendapat penafsiran, dikarenakan ayat-ayat Al-Quran begitu komunikatif dengan sasarannya. Penafsiran pertama dilakukan oleh Rasulullah sendiri. Beliau menjelaskan kepda para sahabat  tentang arti dan kandungannya. Sehingga pada masa Rasulullah hidup, tidak terlalu banyak masalah dan kesulitan dalam menfsirkan Al-quran.

Definisi Al-Hadits
          
Hadits merupakan berita atau catatan tentang perbuatan, perkataan, dan peridzinan/persetujuan Nabi. Selain hadits, digunakan pula istilah Sunnah yang merupakan kependekan dari Sunnatur Rasul. Sunnah atau Hadits, isi dan redaksinya dari Nabi, hanya tetap dengan bimbingan Allah. Berdasarkan penjelasan tadi, Sunnah atau Hadits dibedakan menadi tiga:
1.      Sunnah Qauliyah,
2.      Sunnah Fi’liyah,
3.      Sunnah Taqririyah.
Peran haditst yakni sebagai sumber kedua yang merupakan penjelasan rinci dari sumber pertama harus menjadi rujukan dan landasan dalam memecahkan berbagai segi kehidupan. Kaitan erat antara al qur’an dan haditst terjalin melalui tiga bentuk, yaitu :

a.       Haditst menguatkan hukum yang telah ditetapkan Al qur’an. Dalam hal ini, hukum tersebut ditetapkan secara bersama-sama oleh al-qur’an dan hadits, namun kedudukan al-qur’an sebagai sumber atau penetap utama dan hadits sebagai penguat. Misalnya tertera pada ayat-ayat dibawah ini.
     Dan ketika Lukman berkata pada anaknya pada waktu ia mengajar: Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah kedzaliman yang besar sekali(Lukman:13)
     Demikianlah perintah Allah . barang siapa mengagungkan apa-apa yang patut dihormati disisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya disisi Tuhannya. Dan telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak kecuali yang diterangkan kepadamu haramnya maka jauhilah olehmu berhala – berhala najis itu dan jauhilah perkataan dusta.(Al Hajj:30) 
      Kemudian larangan tersebut dikuatkan oleh hadits sebagai berikut;
       “Perhatikanlah ! saya akan menerangkan kepadamu sekalian sebesar-besar dosa ( diulang sampai tiga kali). Baiklah, hai Rasulullah, sahut semua sahabat. Mempersekutukan Allah , menyakiti orang tua. Konon Rasulullah disaat itu sedang bersandar, lalu duduk dan seraya berkata : ingat ! perkataan dusta dan kesaksian palsu . Rasulullah terus menerus mengulanginya sampai kami berkata : mudah-mudahan beliau menghentikannya”.  (Bukhari dan Muslim). 
 
  b.       Hadits memberi penjelasan terhadap ayat –ayat Al-qur’an. Dalam hal ini setidaknya nampak tiga cara :
1.      Memberikan rincian, yakni hadits memberikan rincian terhadap ayat-ayat yang masih bersifat global, seperti mengenai perintah melaksanakan sholat.
Apabila kamu selesai shalat ingatlah kepada Allah sambil duduk, berdiri, dan berbaring. Apabila kamu telah merasa aman maka dirikanlah sholat. Sesungguhnya shalat adalah kewajiban yang telah ditentukan waktunya bagi orang-orang yang beriman (An-Nisa,103)
Ayat tersebut masih bersifat global dan memerlukan rincian. Penjelasan tidak ditemukan dalam ayat tersebut atau ayat-ayat lain yang menetapkan kewajiban shalat, melainkan akan ditemukan dalam sabda Rasulullah. Banyak sekali hadits yang menjelaskan shalat secara terperinci  tentang cara pelaksanaan shalat. Beliau bersabda :
Shalatlah kamu seperti yang kamu lihat bagaimana aku mengerjakan shalat (HR. Bukhari)
Orang orang yang mengingkari hadis, sebenarnya telah mengingkari al-qur’an, karena tidak beriman kepada ayat-ayat yang mewajibkan ta’at kepada rasul, seperti :
Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah (Al-Qur’an) dan Rasulnya(Sunnahnya) dan ulil amri diantara kamu. emudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalilah kepada Allah(al-qur’an) dan rasulnya(sunnahnya) jika kamu benar benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya  (An-Nisa:59)
Apa yang diberikan Rasul kepadamu terimalah ia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras hukumannya  (Al Hasyr:7) 

2.   Membatasi kemutlakan, yakni hadits yang membatasi kemutlakan pengertian yang terkandung dalam redaksi ayat. Missal ketetapan al-qur’an mengenai wasiat:
Ditetapkan kepada kamu , apabila salah seorang dari kamu telah kedatangan tanda-tanda maut , jika ia meninggalkan harta banyak, maka berwasiatlah untuk ibu bapak dan karib kerabatnya sevara ma;ruf, sebagai suatu hak(ketetapan) atas orang yang bertaqwa.
Dalam ayat tersebut wasiat itu diungkapkan secara mutlak(tanpa ada batasan banyak sedikitnya). Berapa jumlah yang bisa kita wasiatkan? Apakah semua harta kekayaan bisa diwariskan?. Rasulullah menjawab dengan kata-katanya sebagai berikut :
Ya sepertiga, sepertiga itu banyak atau besar. Sebab jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan adalah lebih baik  daripada jika kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin yang meminta-minta pada orang lain.(bukhori muslim)
   

3.      Memberikan pengecualian , yakni hadits yang memberikan penjelasan dengan yang mengecualikan sesuatu yang tercakup dalam pengertian ayat yang bersifat umum. Misalnya ayat yang menghalalkan semua perhiasan Allah:
Katakanlah : Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya, dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rizqi yang baik? Katakanlah semua itu disediakan bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus(untuk mereka saja) dihari kiamat. (Al-A’raf:32)
Pengertian ayat diatas mencakup semua perhiasan Allah secara umun. Dalam hadits, kita menemukan Rasulullah mengharamkan perhiasan emas dipakai oleh laki-laki
Yaitu ketika Rasulullah melihat cincin emas pada tangan seorang lak-laki beliau mencopotnya dan melemparkannya sambil berkata :” salah seorang dari kamu sengaja menuju api neraka dan meletakkannya pada tanggannya.” Setelah rasululah pergi seseorang dari mereka berkata kepada laki-laki itu: “ ambilah emas itu barangkali bisa dimanfaatkan untuk keperluan lain”. Laki-laki itu menjawab:” demi Allah saya tidak akan mengambilnya kembali selama-lamanya , sebab rasulullahpun telah melemparnya.
a    C. Hadits merupakan hukum baru yang tidak terdapat dalam al-Qur’an. 
      Dalam hal ini, hadits menetapkan hukum secara tersendiri, yakni bukan menjelaskan atau menguatkan yang ada dalam al-Qur’an, sebab masalah tersebut tidak ditemukan dalam al-Qur’an. Apabila kita bertanya apakah binatang buas dihlalkan? Ketika kita mencarinya dalam Al-qur’an , kita akan menemukan empat hal yang diharamkan(tidak termasuk binatang buas), yaitu; bangkai, dara, daging babi, dan binatang yang disembelih untuk selain Allah. Lalu Rasulullah Saw bersabda,
Rasulullah Saw melarang memakan setiap binatang buas yang bertaring dan setiap burung yang mempunyai cakar yang kuat (HR. Muslim)


Macam- macam Hadits
            Didalam Kitab Bulughul Maram dinyatakan bahwa haditst-haditst yang diriwayatkan dari Nabi s.a.w ada bermacam-macam.
1.      Hadits mutawatir.
                        Terbagi menjadi:
a)      Mutawatir Lafdiyah
b)      Mutawatir ma’nawiyah

2.      Hadits ahad
                        Terbagi menjadi:
a)      Hadits Shahih
b)      Hadits Hasan
c)      Hadits Dha’if
d)     Hadits Maudhu’

Definisi Ijtihad
 
           Kata Ijihad dan Jihad mempunyai akar yang sama yaitu Jahada yang berarti mengerahkan kemampuan. Dalam pemikiran Islam kedua kata tersebut memiliki arah yang berbeda. Jihad diartikan sebagai pengerahan kemampuan secara maksimal cenderung pada segi fisik, sementara Ijtihad  lebih cenderung pada segi ilmiah.orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid.
            Secara terminology Ijtihad berarti mengerahkan segala kemampuan secara maksimal dalam mengungkapkan kejelasan hukum islam atau maksudnya untuk menjawab dan menyelesaikan permasalahan yang muncul. Ijtihad lebih tepat dikatakan sebagai cara untuk meneropong sebuah masalah dalam kaitannya dengan fenomena kehidupan. Bisa dipastikan ijtihad akan terus diperlukan sepanjang zaman, terlebih-lebih di abad modern, dimana perkembangan kehidupan berlangsung sangat cepat.ijtihad mampu tampil untuk memberikan jalan yang terbaik bagi umat manusia dengan memberikan makna-makna pada kehidupan dengan tetap berdasar kepada Al-Qur’an dan Hadits.
Ditinjau dari segi pelaksanaannya , ijtihad dibagi menjadi dua macam yaitu :

a.       Ijtihad fardi
Merupakan setiap ijtihad yang belum / tidak memperoleh persetujuan dari mujtahid lainnya.
b.      Ijthad jama’i
Merupakan setiap ijtihad yang telah mendapat persetujuan dari para mujtahid lainnya

Istinbath merupakan bentuk ijtihad dari segi materinya. Istinbath menyangkut masalah masalah yang tidak ditemukan hukumnya secara tegas dalam al-qur’an ataupun hadits, tetapi ditemukan ditemukan didalamnya kaidah-kaidah yang mengacu pada kebiasaan.


                Syarat-syarat Mujtahid
1.      Memiliki keimanan yang kuat terhadap syariah
2.      Menguasai bahasa arab sebab al-qur’an diturunkan dalam bahasa arab
3.      Mendalami ilmu al-qur’an dan sunnah
4.      Mengetahui produk – produk ijtihad yang diwariskan oleh ahli terdahulu
5.      Memiliki pengetahuan yang cermat terhadap masalah kehidupan
6.      Memiliki akhlak yang terpuji sesuai dengan tuntutan Islam.
 
 
Definisi Ijma’
            Imam Syafi’I mendefinisikan ijma’  melalui  ungkapannya “ ijma’ berarti jika anda berkata, orang-orang telah sepakat”.  Beliau menegaskan pula jika ijma’ termasuk dasar hukum atas segala sesuatu. Sebab tidak mungkin terdapat kesalahan pada ijma’.  Pendapat Imam Syafi’I ini didasari oleh dua dalil,
Pertama dalil Al-Qur’an,
barang siapa yang menentang Rasul  setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang mukmin, Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam neraka Jahanam. Dan itu seburuk-buruknya tempat kembali” [QS. An-Nisa (4) :115]
Kedua merupakan sabda Rasulullah Saw,
“Muliakanlah sahabatku, kemudian orang-orang setelah mereka, lalu orang-orang setelah mereka lagi. Kemudian muncul kebohongan, sehingga orang-orang bersumpah tanpa diminta bersumpah, bersaksi tanpa diminta bersaksi. Ketahuilah , jika seseorang ingin menikmati surga, maka hendaklah ia berpegang teguh pada jamaah, karena setan selalu bersama orang yang sendiri. Setan berjarak lebih jauh dari orang yang berkumpul berdua. Dan janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang perempuan, karena setan menjadi pihak ketiga diantara keduanya. Dan siapa yang merasa gembira dengan kebaikan yang diperbuatnya, dan benci terhadap keburukan yang diperbuatnya, dia adalah orang yang beriman”
            Ijma’ merupakan salah satu dasar hukum islam. Ijma’ adalah kesepakatan umat atas suatu permasalahan yang tidak ada dalil nash nya. Ijma’ dapat pula diartikan sebagai kesepakatan para mujtahid akan suatu masalah yang oleh para ulama disepakati bisa dijadikan satu argumentasi yang nilainya dibawah Qur’an dan Sunnah.
            Khalifah Umar Bin Khattab selalu mengumpulkan sahabat-sahabatnya untuk dimintai pendapat dan keterangan tentang sesuatu. Tentu saja pendapat dan keterangan tersebut selalu didasari pada Al Qur’an dan haditst.perbedaan pendapat sering kali terjadi, namun hal tersebut tidak menjadi penghalang, sebab masing- masing pihak memiliki tujuan mengharap ridho Allah. Dari perbedaan – perbedaan tersebut, masing-masing pihak saling melengkapi sehingga diperleh sebuah keputusan yang lebih baik. Khalifah Umar bin Khattab pernah memerintahkan seorang hakim untuk menggunakan Ijma’ sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusannya. Beliau berkata “ hai, hakim, tetapkanlah hukum berdasarkan Kitabullah. Jika kau tak temui ketetapannya dalam Al-Qur’an, carilah berdasarkan hadits dan sunnah. Dan jika ketetapan tersebut tak kau temui pula pada Al’Qur’an dan hadits, tetapkanlah perkara tersebut berdasarkan konsensus para ulama!”
            Dapat disimpulkan pendapat Imam Syafi’I tentang ijma’ bisa menjadi
dasar hukum atau tidak, tercantum pada beberepa hal berikut:
1.      Ijma’ para sahabat. Mereka menyebutkan sebuah kisah dari Rasulullah sebagaimana yang mereka katakan.
2.      Ijma’ para sahabat. Tetapi mereka tidak menceritakannya dari rasulullah. Bisa jadi mereka menceritakan suatu riwayat dari Rsulullah, dan bisa juga dari selain Rasulullah.
3.      Ijma seluruh ulama diseluruh belahan negeri atas suatu masalah yang tidak ditentang oleh siapapun. Misalnya pengharaman terhadap minuman khamar dan minuman lain yang serupa. Karenanya ijma’ ini juga menjadi dasar hukum.
4.      Ijma’ penduduk Madinah, penduduk Irak, atau penduduk lainnya dibelahan bumi, oleh imam Syafi’I tidak digunakan sebagai dasar hukum. Sebab dia mendapati orang yang menentang pendapat mereka tersebut, bahkan yang hidup pada masa mereka. Tetapi dia tetap menghormati pendapat penduduk Madinah dan menyanjung ijtihad penduduk Iraq.
5.      Al ijma’ as-Sukuti. Tidak dianggap oleh Imam Syafi’I sebagai dasar hukum karena menurutnya itu bukanlah ijma’. Adalah sebuah keharusan menukil pendapat setiap ulama, untuk kemudian semua pendapat tersebut sepakat pada masalah tertentu sehingga bisa dianggap sebagai dasar hukum.

Definisi Qiyas
       Qiyas atau analogi berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah adalah boleh menurut Imam Syafi’I dan Imam Ahmad saat tidak ditemukan dalil atau dalam keadaan darurat. Didalam kitab ar-Risalah Imam Syafi’I berkata,” Qiyas merupakan tindakan yang dilakukan dan merujuk dalil yang sesuai dengan nash yang datang lebih awal dari al-Qur’an maupun sunnah, karena keduanya merupakan kebenaran yang dibutuhkan keberadaannya.
          Qiyas merupakan perumpamaan suatu kasus tertentu dengan kasus yang lain yang mirip    atau serupa meskipun tidak sama.sebagian tokoh memperbolehkan adanya qiyas, sebagian lagi tidak. Bahkan ada ulama yang menyatakan secara tegas jika qiyas itu tidak  diperbolehkan. Salah satu alasannya adalah tak bisa dan tak mungkin qiyas disandingkan  dengan hukum dan syariat yang telah ditetapkan oleh Allah atau yang sudah dijelaskan Rasulullah. Namun Iman Syafi’I mengatakan dalam risalahnya bahwa segala sesuatu, insya Allah telah ditetapkan hukumnya dan umat islam wajib melaksanakannya. Akan tetapi jika tidak ada ketentuan hukum yang pasti, harus dilakukan pendekatan yang sah. Dalam hal ditekankan benar apa yang seharusnya dilakukan oleh qiyas, yakni mempertemukan sesuatu yang belum berhukum dengan hal lain yang telah jelas statusnya.tentu saja semua itu dilandasi dengan niat ingin mencari ridha Allah.
  Setidaknya ada tiga pendapat besar yang muncul dalam menyikapi keberadaan qiyas;
Pertama, mayoritas mengungkapkan qiyas untuk mendapat hukum pada hal-hal yang belum ada ketentuannya dalam al-qur’an atau sunnah boleh saja dilakukan dengan catatan tidak berlebihan dan tidak melampaui batas.
Kedua , beberapa kelompok bahkan tidak menempuh jalan ini sama sekali. Mereka tidak melakukan qiyas untuk alasan apapun.
Ketiga, golongan yang hendak memperluas qiyas seluas-luasnya. Sedikit-sedikit perumpamaan, sedikit sedikit pengandaian, padahal yang diandaikan telah jauh dari persamaan dari sisi apapun. Kelompok seperti ini biasanya terjerumus pada perbuatan membongkar hukum-hukum yang telah ditetapkan pada Qur’an dan sunnah. Mereka menganggap hukum yang telah ditetapkan tidak lagi sesuai dengan zaman. Padahal pada intinya mereka telah terbuai oleh akal dan rasionalitas yang tak dikuasai lagi. Menanggapi hal seperti ini, rasulullah pernah mengemukakan kekhawatirannya. “ umat ini terkadang melakukan dan memutuskan sesuatu berdasarkan al-qur’an. Umat ini terkadang memutuskan sesuatu berdasarkan haditsku. Tapi terkadang umat ini memutuskannya berdasarkan perkara belaka. Apabila mereka telah melakukan sesuatu dengan pikirannya belaka, mereka telah sesat dan menyesatkan.”   (Abu Hurairah)

   Kesesuaian Qiyas dengan dalil yang datang lebih dulu terdiri dari dua segi :

Pertama : Allah dan Rasulnya mengharamkan atau menghalalkan sesuatu secara tertulis atau menghalalkannya untuk suatu makna tertentu. Oleh karena itu jikas kita menemukan sesuatu yang semakna dengannya, tetapi tidak terdapat dalil nashnya dari al-Qur’an atau sunnah, maka kita akan menghalalkan atau mengharamkannya
 Kedua : kita menemukan sesuatu yang serupa dengan dalil yang datang lebih awal, padahal sebenarnya ia adalah sesuatu yang lain. Sementara kita tidak menemukan sesuatu   yang lebih dekat kesamaannya dari keduanya, maka kita akan menyandarkan pada sesuatu yang lebih banyak kesamaannya.

Jika suatu perkara menuntut adanya Qiyas, maka qiyaskanlah dengan benar. Qiyas dilakukan melalui dua sisi. Pertama, sesuatu yang menjadi objek harus menunjukkan makna asli. Sehingga qiyas tidak bertolakbelakang dengannya. Kedua sesuatu yang menjadi objek memiliki beberapa pengertian serupa  dengan yang asli. Oleh karena itu qiyas disandingkan dengan yang memiliki makna lebih baik dan lebih mendekati kesamaan. Dan terkadang orang-orang yang melakukan qiyas berbeda satu dengan yang lainnya tentang masalah ini.
      

 


DAFTAR PUSTAKA

Nurdin, Muslim dkk.1995.Moral dan Kognisi Islam.Bandung.Alfabeta.

An-Nabbani,Taqiyuddin.2003.Syakhshiyah Islam.Bogor.Pustaka Thariqul Izzah.

Al-Farran,Ahmad Musthafa.2008.Tafsir Imam Syafi’i.Jakarta.Almahira.

Rais, Muhammad Dhiauddin dkk. 2001. Teori Politik Islam.Jakarta.Gema Insani   Press.

Nurdi, Herry.2004.Fiqih Itu Asyik.Bandung.DAR Mizan


                     
 
                      





Tidak ada komentar:

Posting Komentar