Latar Belakang
Islam
merupakan agama yang sempurna. Setiap segala sesuatu yang ada dimuka bumi ini
telah diatur dan tercantum didalam Al-Qur’an Al Karim serta Hadist dari
Rasulullah Saw. Begitupun masalah hukum hukum islam yang berlaku sejak dulu
hingga sekarang. Namun seiring dengan perkembangan zaman, pola kehidupan
manusia sudah mulai berubah. Perkembangan teknologi terbaru hingga gaya hidup
yang semakin maju telah memunculkan berbagai masalah baru yang terkadang tidak
tercantum dalam Al-Qur’an maupun Hadis mengenai dalil nash nya. Berbagai pendapat , baik perorangan ataupun
secara berkelompok dikemukakan mengenai hukum atas masalah-masalah
tersebut. Tetapi hanya pendapat yang
dikemukakan berdasarkan pertimbangan
Al-Qur’an dan hadis lah yang dapat diterima. Di dalam islam sendiri
terdapat lima sumber yang dapat
dijadikan sebuah hukum, yakni, Al-Qur’an, hadits, Ijtihad, Ijma’, serta Qiyas.
Definisi Al Qur'an
Secara
etimologi Al-Qur’an berarti “bacaan” atau yang dibaca, berasal dari kata qara’a
yang berarti “membaca”. Secara terminologi
Al-Qur’an berarati kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan
bahasa Arab melalui malaikat Jibril, sebagai mu’jizat dan argumentasi dalam
mendakwahkan kerasulannya dan sebagi pedoman hidup untuk mencapai kebahagiaan
hidup di dunia dan di akhirat.
Nama-nama lain dari Al-Qur’an :
1. Al-Furqan,
artinya pembeda,
2. Al-Kitab,
artinya tulisan atau yang ditulis,
3. Adz-Dzikir,
artinya peringatan,
4. Al-Hadi, artinya
petunjuk.
Al-Qur’an diturunkan tidak hanya
untuk dibaca dalm arti pelafalan kata atau kalamat-kalimatnya, tapi yang terpenting adalah pemahaman, penghayatan
dan pengamalannya. Kemu’jizatan Al-Qur’an antara lain terletak pada segi bahasa
dan kandungannya, yang akan nampak dan terasa kemu’jizatannya apabila mampu
memahami dan mengamalkannya secara utuh dan konsisten.
Al-Qur’an diturunkan dalam jangka waktu 23
tahun, tepatnya 22 tahun 2 bulan 22 hari, 13 tahun di Makkah, dan 10 tahun di
Madinah. Ayat-ayat yang diturunkan di Makkah disebut ayat-ayat Makkiyah,dan
yang diturunkan di Madinah dinamakan Madaniyah. Ayat Makkiyah pada umumnya
pendek-pendek, dan ayat-ayat Madaniyah panjang-panjang. Yang diturunkan di
Madinah, ada 11/30 (1.46 ayat) dan ayat Makiyah merupakan 19/30 dari isi
Al-Qur’an (4.780 ayat).
Al-qur-an
dibukukan pada masa khalifah Abu Baka Ash-shidiq, sehingga dapat terkumpul
menjadi asatu mushaf tersendiri. Pembukuan Al-qur’an dibantu oleh beberapa
sahabat antara lain: Umar bin Khattab, Zaid bin Tsabit, Ubay bi Kaab, Ali bin
Abi thalib, dan Utsman bin Khattab. Selanjutnya pada masa khalifah ketiga “Utsman bin Affan” terjadi
penyalinan kembali dan penggandaan, yang diketuai leh Zaid bin Tsabit untuk
membuat empat salinan Al-Qur’an.
Sebagian besar ahli tafsir
berpandangan bahwa pokok=pokok Al-Qur’an terdiri dari:
1. Prinsip-prinsip
keimanan,
2. Prinsip-prinsip
syari’ah,
3. Janji
dan ancaman,
4. Sejarah
atau kisah-kisah masa lalu,
5. Ilmu
pengetahuan.
Sebagai kitab suci, Al-Qur’an
mempunyai kelebihan dibanding tulisan, buku, bahkan kitab suci lainnya, antara
lain:
1. Baik
dari segi isi maupun bahasa,
2. Al_qur’an
berbicara tentang peristiwa yang belum terjadi atau terbukti waktu turunnya
ayat bersangkutan dan kemudian menjadi kenyataan.
3. A;-Qur’an
banyak berbicara tntang alam dan fenomenanya.
4. Bahasa
yang digunakan yaitu bahasa Arab,
5. Al-Qr’an
ditujukan bagi seluruh umat manusia bahkan di luar manusia,
6. Naskah
asli Al-Qur’an sejak pertama sampai sekarang tetap terpelihara, tidak mengalami
perubahan walaupun sehuruf.
7. Kandungan
Al-Quran mencakup pokok=pokok ajaran pada kitab sebelumnya.
8. Di dalam Al-Qur’an
tidak dijumpai sesuatu yang bertentangan dengan akal.
Antara
Al-Quran dan penafsiran bisa dikatakan tidak ada jarak. Artinya, begitu
Al-Quran diturunkan langsung mendapat penafsiran, dikarenakan ayat-ayat
Al-Quran begitu komunikatif dengan sasarannya. Penafsiran pertama dilakukan
oleh Rasulullah sendiri. Beliau menjelaskan kepda para sahabat tentang arti dan kandungannya. Sehingga pada
masa Rasulullah hidup, tidak terlalu banyak masalah dan kesulitan dalam
menfsirkan Al-quran.
Definisi
Al-Hadits
Hadits
merupakan berita atau catatan tentang perbuatan, perkataan, dan
peridzinan/persetujuan Nabi. Selain hadits, digunakan pula istilah Sunnah yang
merupakan kependekan dari Sunnatur Rasul. Sunnah atau Hadits, isi dan
redaksinya dari Nabi, hanya tetap dengan bimbingan Allah. Berdasarkan
penjelasan tadi, Sunnah atau Hadits dibedakan menadi tiga:
1. Sunnah
Qauliyah,
2. Sunnah
Fi’liyah,
3. Sunnah
Taqririyah.
Peran
haditst yakni sebagai sumber kedua yang merupakan penjelasan rinci dari sumber pertama
harus menjadi rujukan dan landasan dalam memecahkan berbagai segi kehidupan.
Kaitan erat antara al qur’an dan haditst terjalin melalui tiga bentuk, yaitu :
a.
Haditst menguatkan hukum yang telah
ditetapkan Al qur’an. Dalam hal ini, hukum tersebut ditetapkan secara
bersama-sama oleh al-qur’an dan hadits, namun kedudukan al-qur’an sebagai
sumber atau penetap utama dan hadits sebagai penguat. Misalnya tertera pada
ayat-ayat dibawah ini.
Dan ketika
Lukman berkata pada anaknya pada waktu ia mengajar: Hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah kedzaliman
yang besar sekali(Lukman:13)
Demikianlah
perintah Allah . barang siapa mengagungkan apa-apa yang patut dihormati disisi
Allah maka itu adalah lebih baik baginya disisi Tuhannya. Dan telah dihalalkan
bagi kamu semua binatang ternak kecuali yang diterangkan kepadamu haramnya maka
jauhilah olehmu berhala – berhala najis itu dan jauhilah perkataan dusta.(Al
Hajj:30)
Kemudian
larangan tersebut dikuatkan oleh hadits sebagai berikut;
“Perhatikanlah ! saya akan
menerangkan kepadamu sekalian sebesar-besar dosa ( diulang sampai tiga kali).
Baiklah, hai Rasulullah, sahut semua sahabat. Mempersekutukan Allah , menyakiti
orang tua. Konon Rasulullah disaat itu sedang bersandar, lalu duduk dan seraya
berkata : ingat ! perkataan dusta dan kesaksian palsu . Rasulullah terus
menerus mengulanginya sampai kami berkata : mudah-mudahan beliau
menghentikannya”.
(Bukhari dan Muslim).
b.
Hadits memberi penjelasan terhadap ayat
–ayat Al-qur’an. Dalam hal ini setidaknya nampak tiga cara :
1.
Memberikan rincian, yakni hadits
memberikan rincian terhadap ayat-ayat yang masih bersifat global, seperti
mengenai perintah melaksanakan sholat.
Apabila
kamu selesai shalat ingatlah kepada Allah sambil duduk, berdiri, dan berbaring.
Apabila kamu telah merasa aman maka dirikanlah sholat. Sesungguhnya shalat
adalah kewajiban yang telah ditentukan waktunya bagi orang-orang yang beriman
(An-Nisa,103)
Ayat
tersebut masih bersifat global dan memerlukan rincian. Penjelasan tidak
ditemukan dalam ayat tersebut atau ayat-ayat lain yang menetapkan kewajiban
shalat, melainkan akan ditemukan dalam sabda Rasulullah. Banyak sekali hadits
yang menjelaskan shalat secara terperinci
tentang cara pelaksanaan shalat. Beliau bersabda :
Shalatlah kamu
seperti yang kamu lihat bagaimana aku mengerjakan shalat (HR. Bukhari)
Orang
orang yang mengingkari hadis, sebenarnya telah mengingkari al-qur’an, karena
tidak beriman kepada ayat-ayat yang mewajibkan ta’at kepada rasul, seperti :
Hai orang-orang
yang beriman, ta’atilah Allah (Al-Qur’an) dan Rasulnya(Sunnahnya) dan ulil amri
diantara kamu. emudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalilah kepada Allah(al-qur’an) dan rasulnya(sunnahnya) jika kamu benar
benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama dan
lebih baik akibatnya (An-Nisa:59)
Apa yang diberikan
Rasul kepadamu terimalah ia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka
tinggalkanlah. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras
hukumannya (Al
Hasyr:7)
2.
Membatasi kemutlakan, yakni hadits yang
membatasi kemutlakan pengertian yang terkandung dalam redaksi ayat. Missal
ketetapan al-qur’an mengenai wasiat:
Ditetapkan
kepada kamu , apabila salah seorang dari kamu telah kedatangan tanda-tanda maut
, jika ia meninggalkan harta banyak, maka berwasiatlah untuk ibu bapak dan
karib kerabatnya sevara ma;ruf, sebagai suatu hak(ketetapan) atas orang yang
bertaqwa.
Dalam ayat tersebut
wasiat itu diungkapkan secara mutlak(tanpa ada batasan banyak sedikitnya).
Berapa jumlah yang bisa kita wasiatkan? Apakah semua harta kekayaan bisa
diwariskan?. Rasulullah menjawab dengan kata-katanya sebagai berikut :
Ya sepertiga, sepertiga itu banyak atau besar.
Sebab jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan adalah
lebih baik
daripada jika kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin yang
meminta-minta pada orang lain.(bukhori muslim)
3.
Memberikan pengecualian , yakni hadits
yang memberikan penjelasan dengan yang mengecualikan sesuatu yang tercakup
dalam pengertian ayat yang bersifat umum. Misalnya ayat yang menghalalkan semua
perhiasan Allah:
Katakanlah
: Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya
untuk hamba-hamba-Nya, dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rizqi yang baik?
Katakanlah semua itu disediakan bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan
dunia, khusus(untuk mereka saja) dihari kiamat.
(Al-A’raf:32)
Pengertian ayat
diatas mencakup semua perhiasan Allah secara umun. Dalam hadits, kita menemukan
Rasulullah mengharamkan perhiasan emas dipakai oleh laki-laki
Yaitu
ketika Rasulullah melihat cincin emas pada tangan seorang lak-laki beliau
mencopotnya dan melemparkannya sambil berkata :” salah seorang dari kamu
sengaja menuju api neraka dan meletakkannya pada tanggannya.” Setelah rasululah
pergi seseorang dari mereka berkata kepada laki-laki itu: “ ambilah emas itu
barangkali bisa dimanfaatkan untuk keperluan lain”. Laki-laki itu menjawab:”
demi Allah saya tidak akan mengambilnya kembali selama-lamanya , sebab
rasulullahpun telah melemparnya.
a C. Hadits
merupakan hukum baru yang tidak terdapat dalam al-Qur’an.
Dalam hal ini, hadits
menetapkan hukum secara tersendiri, yakni bukan menjelaskan atau menguatkan
yang ada dalam al-Qur’an, sebab masalah tersebut tidak ditemukan dalam
al-Qur’an. Apabila kita bertanya apakah binatang buas dihlalkan? Ketika kita
mencarinya dalam Al-qur’an , kita akan menemukan empat hal yang
diharamkan(tidak termasuk binatang buas), yaitu; bangkai, dara, daging babi,
dan binatang yang disembelih untuk selain Allah. Lalu Rasulullah Saw bersabda,
Rasulullah Saw melarang memakan setiap binatang
buas yang bertaring dan setiap burung yang mempunyai cakar yang kuat (HR. Muslim)
Macam- macam Hadits
Didalam
Kitab Bulughul Maram dinyatakan bahwa haditst-haditst yang diriwayatkan dari
Nabi s.a.w ada bermacam-macam.
1.
Hadits mutawatir.
Terbagi
menjadi:
a)
Mutawatir Lafdiyah
b)
Mutawatir ma’nawiyah
2.
Hadits ahad
Terbagi
menjadi:
a)
Hadits Shahih
b)
Hadits Hasan
c)
Hadits Dha’if
d)
Hadits Maudhu’
Definisi
Ijtihad
Kata
Ijihad dan Jihad mempunyai akar yang sama yaitu Jahada yang berarti mengerahkan
kemampuan. Dalam pemikiran Islam kedua kata tersebut memiliki arah yang
berbeda. Jihad diartikan sebagai pengerahan kemampuan secara maksimal cenderung
pada segi fisik, sementara Ijtihad lebih
cenderung pada segi ilmiah.orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid.
Secara terminology Ijtihad berarti
mengerahkan segala kemampuan secara maksimal dalam mengungkapkan kejelasan
hukum islam atau maksudnya untuk menjawab dan menyelesaikan permasalahan yang
muncul. Ijtihad lebih tepat dikatakan sebagai cara untuk meneropong sebuah
masalah dalam kaitannya dengan fenomena kehidupan. Bisa dipastikan ijtihad akan
terus diperlukan sepanjang zaman, terlebih-lebih di abad modern, dimana
perkembangan kehidupan berlangsung sangat cepat.ijtihad mampu tampil untuk
memberikan jalan yang terbaik bagi umat manusia dengan memberikan makna-makna pada
kehidupan dengan tetap berdasar kepada Al-Qur’an dan Hadits.
Ditinjau dari segi
pelaksanaannya , ijtihad dibagi menjadi dua macam yaitu :
a.
Ijtihad fardi
Merupakan setiap
ijtihad yang belum / tidak memperoleh persetujuan dari mujtahid lainnya.
b.
Ijthad jama’i
Merupakan setiap
ijtihad yang telah mendapat persetujuan dari para mujtahid lainnya
Istinbath
merupakan bentuk ijtihad dari segi materinya. Istinbath menyangkut masalah
masalah yang tidak ditemukan hukumnya secara tegas dalam al-qur’an ataupun
hadits, tetapi ditemukan ditemukan didalamnya kaidah-kaidah yang mengacu pada
kebiasaan.
Syarat-syarat Mujtahid
1.
Memiliki keimanan yang kuat terhadap
syariah
2.
Menguasai bahasa arab sebab al-qur’an diturunkan
dalam bahasa arab
3.
Mendalami ilmu al-qur’an dan sunnah
4.
Mengetahui produk – produk ijtihad yang
diwariskan oleh ahli terdahulu
5.
Memiliki pengetahuan yang cermat
terhadap masalah kehidupan
6.
Memiliki akhlak yang terpuji sesuai
dengan tuntutan Islam.
Definisi
Ijma’
Imam Syafi’I mendefinisikan
ijma’ melalui ungkapannya “ ijma’ berarti jika anda berkata,
orang-orang telah sepakat”. Beliau
menegaskan pula jika ijma’ termasuk dasar hukum atas segala sesuatu. Sebab
tidak mungkin terdapat kesalahan pada ijma’. Pendapat Imam Syafi’I ini didasari oleh dua
dalil,
Pertama
dalil Al-Qur’an,
“barang siapa yang menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang mukmin, Kami biarkan dia dalam kesesatan
yang telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam neraka Jahanam.
Dan itu seburuk-buruknya tempat kembali” [QS. An-Nisa (4) :115]
Kedua
merupakan sabda Rasulullah Saw,
“Muliakanlah sahabatku, kemudian
orang-orang setelah mereka, lalu orang-orang setelah mereka lagi. Kemudian
muncul kebohongan, sehingga orang-orang bersumpah tanpa diminta bersumpah,
bersaksi tanpa diminta bersaksi. Ketahuilah , jika seseorang ingin menikmati
surga, maka hendaklah ia berpegang teguh pada jamaah, karena setan selalu
bersama orang yang sendiri. Setan berjarak lebih jauh dari orang yang berkumpul
berdua. Dan janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang perempuan,
karena setan menjadi pihak ketiga diantara keduanya. Dan siapa yang merasa
gembira dengan kebaikan yang diperbuatnya, dan benci terhadap keburukan yang
diperbuatnya, dia adalah orang yang beriman”
Ijma’ merupakan salah satu dasar
hukum islam. Ijma’ adalah kesepakatan umat atas suatu permasalahan yang tidak
ada dalil nash nya. Ijma’ dapat pula diartikan sebagai kesepakatan para
mujtahid akan suatu masalah yang oleh para ulama disepakati bisa dijadikan satu
argumentasi yang nilainya dibawah Qur’an dan Sunnah.
Khalifah Umar Bin Khattab selalu
mengumpulkan sahabat-sahabatnya untuk dimintai pendapat dan keterangan tentang
sesuatu. Tentu saja pendapat dan keterangan tersebut selalu didasari pada Al
Qur’an dan haditst.perbedaan pendapat sering kali terjadi, namun hal tersebut
tidak menjadi penghalang, sebab masing- masing pihak memiliki tujuan mengharap
ridho Allah. Dari perbedaan – perbedaan tersebut, masing-masing pihak saling melengkapi
sehingga diperleh sebuah keputusan yang lebih baik. Khalifah Umar bin Khattab
pernah memerintahkan seorang hakim untuk menggunakan Ijma’ sebagai bahan
pertimbangan dalam pengambilan keputusannya. Beliau berkata “ hai, hakim,
tetapkanlah hukum berdasarkan Kitabullah. Jika kau tak temui ketetapannya dalam
Al-Qur’an, carilah berdasarkan hadits dan sunnah. Dan jika ketetapan tersebut
tak kau temui pula pada Al’Qur’an dan hadits, tetapkanlah perkara tersebut
berdasarkan konsensus para ulama!”
Dapat disimpulkan pendapat Imam
Syafi’I tentang ijma’ bisa menjadi
dasar hukum atau tidak,
tercantum pada beberepa hal berikut:
1. Ijma’
para sahabat. Mereka menyebutkan sebuah kisah dari Rasulullah sebagaimana yang
mereka katakan.
2. Ijma’
para sahabat. Tetapi mereka tidak menceritakannya dari rasulullah. Bisa jadi
mereka menceritakan suatu riwayat dari Rsulullah, dan bisa juga dari selain
Rasulullah.
3. Ijma
seluruh ulama diseluruh belahan negeri atas suatu masalah yang tidak ditentang
oleh siapapun. Misalnya pengharaman terhadap minuman khamar dan minuman lain
yang serupa. Karenanya ijma’ ini juga menjadi dasar hukum.
4. Ijma’
penduduk Madinah, penduduk Irak, atau penduduk lainnya dibelahan bumi, oleh
imam Syafi’I tidak digunakan sebagai dasar hukum. Sebab dia mendapati orang
yang menentang pendapat mereka tersebut, bahkan yang hidup pada masa mereka.
Tetapi dia tetap menghormati pendapat penduduk Madinah dan menyanjung ijtihad
penduduk Iraq.
5. Al
ijma’ as-Sukuti. Tidak dianggap oleh Imam Syafi’I sebagai dasar hukum karena
menurutnya itu bukanlah ijma’. Adalah sebuah keharusan menukil pendapat setiap
ulama, untuk kemudian semua pendapat tersebut sepakat pada masalah tertentu
sehingga bisa dianggap sebagai dasar hukum.
Definisi
Qiyas
Qiyas
atau analogi berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah adalah boleh menurut Imam Syafi’I
dan Imam Ahmad saat tidak ditemukan dalil atau dalam keadaan darurat. Didalam
kitab ar-Risalah Imam Syafi’I berkata,” Qiyas merupakan tindakan yang dilakukan
dan merujuk dalil yang sesuai dengan nash yang datang lebih awal dari al-Qur’an
maupun sunnah, karena keduanya merupakan kebenaran yang dibutuhkan
keberadaannya.
Qiyas
merupakan perumpamaan suatu kasus tertentu dengan kasus yang lain yang mirip atau
serupa meskipun tidak sama.sebagian tokoh memperbolehkan adanya qiyas, sebagian lagi tidak. Bahkan ada ulama
yang menyatakan secara tegas jika qiyas itu tidak diperbolehkan. Salah satu alasannya adalah tak bisa dan tak
mungkin qiyas disandingkan dengan
hukum dan syariat yang telah ditetapkan oleh Allah atau yang sudah dijelaskan Rasulullah. Namun Iman Syafi’I mengatakan
dalam risalahnya bahwa segala sesuatu, insya
Allah telah ditetapkan hukumnya dan umat islam wajib melaksanakannya. Akan tetapi jika tidak ada ketentuan hukum
yang pasti, harus dilakukan pendekatan yang sah. Dalam hal ditekankan benar apa yang seharusnya dilakukan oleh
qiyas, yakni mempertemukan
sesuatu yang belum berhukum dengan hal lain yang telah jelas statusnya.tentu saja semua itu dilandasi
dengan niat ingin mencari ridha Allah.
Setidaknya
ada tiga pendapat besar yang muncul dalam menyikapi keberadaan qiyas;
Pertama,
mayoritas mengungkapkan qiyas untuk mendapat hukum pada hal-hal yang belum ada
ketentuannya dalam al-qur’an atau sunnah boleh saja dilakukan dengan catatan
tidak berlebihan dan tidak melampaui batas.
Kedua
, beberapa kelompok bahkan tidak menempuh jalan ini sama sekali. Mereka tidak
melakukan qiyas untuk alasan apapun.
Ketiga,
golongan
yang hendak memperluas qiyas seluas-luasnya. Sedikit-sedikit perumpamaan,
sedikit sedikit pengandaian, padahal yang diandaikan telah jauh dari persamaan
dari sisi apapun. Kelompok seperti ini biasanya terjerumus pada perbuatan
membongkar hukum-hukum yang telah ditetapkan pada Qur’an dan sunnah. Mereka menganggap
hukum yang telah ditetapkan tidak lagi sesuai dengan zaman. Padahal pada
intinya mereka telah terbuai oleh akal dan rasionalitas yang tak dikuasai lagi.
Menanggapi hal seperti ini, rasulullah pernah mengemukakan kekhawatirannya. “
umat ini terkadang melakukan dan memutuskan sesuatu berdasarkan al-qur’an. Umat ini terkadang memutuskan sesuatu
berdasarkan haditsku. Tapi terkadang umat ini memutuskannya berdasarkan perkara
belaka. Apabila mereka telah melakukan sesuatu dengan pikirannya belaka, mereka
telah sesat dan menyesatkan.” (Abu
Hurairah)
Pertama :
Allah dan Rasulnya mengharamkan atau menghalalkan sesuatu secara tertulis atau menghalalkannya untuk suatu makna
tertentu. Oleh karena itu jikas kita menemukan sesuatu
yang semakna dengannya, tetapi tidak terdapat dalil nashnya dari al-Qur’an atau
sunnah, maka kita akan menghalalkan atau mengharamkannya
Kedua : kita menemukan sesuatu yang serupa
dengan dalil yang datang lebih awal, padahal
sebenarnya ia adalah sesuatu yang lain. Sementara kita tidak menemukan sesuatu yang lebih dekat kesamaannya dari keduanya, maka
kita akan menyandarkan pada sesuatu yang lebih banyak kesamaannya.
Jika
suatu perkara menuntut adanya Qiyas, maka qiyaskanlah dengan benar. Qiyas
dilakukan melalui dua sisi. Pertama, sesuatu yang menjadi objek harus menunjukkan
makna asli. Sehingga qiyas tidak bertolakbelakang dengannya. Kedua sesuatu yang
menjadi objek memiliki beberapa pengertian serupa dengan yang asli. Oleh karena itu qiyas
disandingkan dengan yang memiliki makna lebih baik dan lebih mendekati kesamaan.
Dan terkadang orang-orang yang melakukan qiyas berbeda satu dengan yang lainnya
tentang masalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Nurdin, Muslim dkk.1995.Moral dan Kognisi Islam.Bandung.Alfabeta.
An-Nabbani,Taqiyuddin.2003.Syakhshiyah Islam.Bogor.Pustaka Thariqul Izzah.
Al-Farran,Ahmad Musthafa.2008.Tafsir Imam Syafi’i.Jakarta.Almahira.
Rais, Muhammad Dhiauddin dkk. 2001. Teori Politik Islam.Jakarta.Gema Insani Press.
Nurdi, Herry.2004.Fiqih Itu Asyik.Bandung.DAR Mizan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar